PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT ANTARA PERUSAHAAN MOTOR
YAMAHA DAN HONDA
Perspektif ekonomi dan hukum, secara ringkas dapat
dinyatakan bahwa tujuan kebijakan persaingan (competition policy) adalah untuk
meminimalisir inefesiensi perekonomian yang diakibatkan oleh perilaku pelaku
usaha yang bersifat anti persaingan.
Ada dua penyebab distorsi perekonomian yang
dapat mengakibatkan pasar menjadi tidak sempurna:
1. Eksternalitas pasar yang
memungkinkan perusahaan2 yang mempunyai kekuatan pasar menggunakan kekuatan
tersebut untuk menghancurkan pesaingnya (competitor elimination) dengan cara
tidak sehat.
2. Kebijakan intervensi pemerintah
sendiri yang menimbulkan distorsi pasar dan inefesiensi perekonomian. Penyebab
pertama besumber pada perilaku perusahaan, sedangkan penyebab kedua bersumber
pada intervensi pemerintah terhadap pasar.
Beberapa cara tidak sehat yang dilakukan perusahaan
untuk memenangkan persaingan tidak sehat, diantaranya:
1. Tindakan Kolutif
Adalah perilaku
beberapa perusahaan untuk mengatur harga secara bersama‐sama atau
membagi‐bagi pasar sedemikian rupa sehingga
memaksimumkan keuntungan masing‐masing perusahaan.
2. Tindakan yang menghancurkan pesaing,
terbagi dua cara:
a. Vertical Restraint
Adalah pengaturan hubungan antara supplier dengan produsen atau antara produsen
dengan distributor.
b. Predatory Pricing
Adalah bilamana perusahaan secara temporer menetapkan harga di bawah harga yang
rendah sebagai upaya menghalangi masuknya pesaing, mengusir pesaing, atau
mendikte pesaing.
Persaingan tidak sehat seringkali digunakan
perusahaan-perusahaan untuk mendapat keuntungan yang maksimum baik
perusahaan-perusahaan di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia, contoh
perusahaan yang melakukan persaingan tidak sehat adalah perusahaan motor Yamaha
dan Honda. Jika melihat market share Honda dan Yamaha yang menjadi leader
pemasaran motor di Indonesia memang bisa dicurigai. Sehingga Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) melakukan penyelidakan terhadap kedua prosuden motor
terbesar di Indonesia.
KPPU menduga PT. Astra Honda Motor dan PT Yamaha
Indonesia Motor Manufacturing mengontrol penuh harga sepeda motor, hingga
penguasaan pasarnya mencapai 93 persen. Kecurigaan bermula dari ditemukannya
data bahwa biaya produksi rata-rata sepeda motor bebek dan Skutik hanya berada
di kisaran Rp. 7-8 juta per unit. Namun di pasar bisa dilepas rata-rata Rp.
14-15 juta. PT. Astra Honda Motor dan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing
mendapat panggilan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk diperiksa apakah
benar kedua produsen motor tersebut memang melakukan praktik kartel. Tetapi
keduanya membantah dugaan KPPU dan mengatakan bahwa tidak ada pengaturan harga
atau melakukan kesepakatan apa pun.
Apakah praktik kartel itu? Kartel adalah kelompok produsen
independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan
kompetisi. Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel dilarang di hampir semua
negara. Walaupun demikian, kartel tetap ada baik dalam lingkup nasional maupun
internasional, formal maupun informal. Berdasarkan definisi ini, satu entitas
bisnis tunggal yang memegang monopoli tidak dapat dianggap sebagai suatu
kartel, walaupun dapat dianggap bersalah jika menyalahgunakan monopoli yang
dimilikinya. Kartel biasanya timbul dalam kondisi oligopoli, di mana terdapat
sejumlah kecil penjual dengan jenis produk yang homogen.
Kartel dilakukan oleh pelaku usaha dalam rangka
memperoleh market power. market power ini memungkinkan mereka mengatur harga
produk dengan cara membatasi ketersediaan barang di pasar. pengaturan
persediaan dilakukan dengan bersama-sama membatasi produksi dan atau membagi
wilayah penjualan.
Masih menyangkut soal perusahaan otomotif yang melakukan kecurangan, sebelumnya
KPPU telah memutuskan enam perusahaan produsen ban kendaraan terbukti melakukan
kartel. Dalam sidang yang digelar pada Rabu, 7 Januari 2015, enam perusahaan
ini didenda masing-masing Rp 25 miliar. Ketua Majelis KPPU Kamser Lumban Raja
menyatakan enam perusahaan itu adalah PT Bridgestone Tire Indonesia, PT Sumi
Rubber Indonesia, PT Gajah Tunggal Tbk, PT Goodyear Indonesia Tbk, PT Elang
Perdana Tyre Industry, dan PT Industri Karet Deli. Keenam perusahaan tersebut
tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI).
Keenamnya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 ayat 1 dan Pasal
11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang larangan praktik monopoli dan
persaingan tidak sehat. Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009
disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pesaingnya
untuk menentukan harga produk pada pasar yang sama. Sedangkan Pasal 11
menyatakan pelaku usaha dilarang mengadakan perjanjian dengan pesaingnya untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran.
KPPU menyoroti praktik penetapan harga ban mobil ring 13, ring 14, ring 15,
ring 16, dan ring 17 pada 2009 hingga 2012. Menurut Kamser, ada temuan rapat
rutin anggota APBI yang mengindikasikan kesepakatan untuk menahan produksi dan
mengatur harga. Salah satunya rapat presidium tanggal 21 Januari 2009 yang
mengamanatkan anggota APBI untuk tidak membanting harga.
Jadi KPPU masih dalam proses penyelidikan tentang penentuan harga sepeda motor
untuk jenis bebek dan skutik serta kerjasama dalam penentuan volume penjualan
sepeda motor yang dilakukan oleh PT. Astra Honda Motor dan PT Yamaha Indonesia
Motor Manufacturing. Jika kedua produsen motor tersebut terbukti bersalah maka
keduanya akan dijatuhi pasal yang sama dengan keenam perusahaan produsen ban
yaitu dengan Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009
tentang larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar