Kamis, 20 Oktober 2016
Kamis, 30 Juni 2016
Contoh Persaingan Tidak Sehat
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT ANTARA PERUSAHAAN MOTOR
YAMAHA DAN HONDA
Perspektif ekonomi dan hukum, secara ringkas dapat
dinyatakan bahwa tujuan kebijakan persaingan (competition policy) adalah untuk
meminimalisir inefesiensi perekonomian yang diakibatkan oleh perilaku pelaku
usaha yang bersifat anti persaingan.
Ada dua penyebab distorsi perekonomian yang
dapat mengakibatkan pasar menjadi tidak sempurna:
1. Eksternalitas pasar yang
memungkinkan perusahaan2 yang mempunyai kekuatan pasar menggunakan kekuatan
tersebut untuk menghancurkan pesaingnya (competitor elimination) dengan cara
tidak sehat.
2. Kebijakan intervensi pemerintah
sendiri yang menimbulkan distorsi pasar dan inefesiensi perekonomian. Penyebab
pertama besumber pada perilaku perusahaan, sedangkan penyebab kedua bersumber
pada intervensi pemerintah terhadap pasar.
Beberapa cara tidak sehat yang dilakukan perusahaan
untuk memenangkan persaingan tidak sehat, diantaranya:
1. Tindakan Kolutif
Adalah perilaku
beberapa perusahaan untuk mengatur harga secara bersama‐sama atau
membagi‐bagi pasar sedemikian rupa sehingga
memaksimumkan keuntungan masing‐masing perusahaan.
2. Tindakan yang menghancurkan pesaing,
terbagi dua cara:
a. Vertical Restraint
Adalah pengaturan hubungan antara supplier dengan produsen atau antara produsen
dengan distributor.
b. Predatory Pricing
Adalah bilamana perusahaan secara temporer menetapkan harga di bawah harga yang
rendah sebagai upaya menghalangi masuknya pesaing, mengusir pesaing, atau
mendikte pesaing.
Persaingan tidak sehat seringkali digunakan
perusahaan-perusahaan untuk mendapat keuntungan yang maksimum baik
perusahaan-perusahaan di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia, contoh
perusahaan yang melakukan persaingan tidak sehat adalah perusahaan motor Yamaha
dan Honda. Jika melihat market share Honda dan Yamaha yang menjadi leader
pemasaran motor di Indonesia memang bisa dicurigai. Sehingga Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) melakukan penyelidakan terhadap kedua prosuden motor
terbesar di Indonesia.
KPPU menduga PT. Astra Honda Motor dan PT Yamaha
Indonesia Motor Manufacturing mengontrol penuh harga sepeda motor, hingga
penguasaan pasarnya mencapai 93 persen. Kecurigaan bermula dari ditemukannya
data bahwa biaya produksi rata-rata sepeda motor bebek dan Skutik hanya berada
di kisaran Rp. 7-8 juta per unit. Namun di pasar bisa dilepas rata-rata Rp.
14-15 juta. PT. Astra Honda Motor dan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing
mendapat panggilan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk diperiksa apakah
benar kedua produsen motor tersebut memang melakukan praktik kartel. Tetapi
keduanya membantah dugaan KPPU dan mengatakan bahwa tidak ada pengaturan harga
atau melakukan kesepakatan apa pun.
Apakah praktik kartel itu? Kartel adalah kelompok produsen
independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan
kompetisi. Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel dilarang di hampir semua
negara. Walaupun demikian, kartel tetap ada baik dalam lingkup nasional maupun
internasional, formal maupun informal. Berdasarkan definisi ini, satu entitas
bisnis tunggal yang memegang monopoli tidak dapat dianggap sebagai suatu
kartel, walaupun dapat dianggap bersalah jika menyalahgunakan monopoli yang
dimilikinya. Kartel biasanya timbul dalam kondisi oligopoli, di mana terdapat
sejumlah kecil penjual dengan jenis produk yang homogen.
Kartel dilakukan oleh pelaku usaha dalam rangka
memperoleh market power. market power ini memungkinkan mereka mengatur harga
produk dengan cara membatasi ketersediaan barang di pasar. pengaturan
persediaan dilakukan dengan bersama-sama membatasi produksi dan atau membagi
wilayah penjualan.
Masih menyangkut soal perusahaan otomotif yang melakukan kecurangan, sebelumnya
KPPU telah memutuskan enam perusahaan produsen ban kendaraan terbukti melakukan
kartel. Dalam sidang yang digelar pada Rabu, 7 Januari 2015, enam perusahaan
ini didenda masing-masing Rp 25 miliar. Ketua Majelis KPPU Kamser Lumban Raja
menyatakan enam perusahaan itu adalah PT Bridgestone Tire Indonesia, PT Sumi
Rubber Indonesia, PT Gajah Tunggal Tbk, PT Goodyear Indonesia Tbk, PT Elang
Perdana Tyre Industry, dan PT Industri Karet Deli. Keenam perusahaan tersebut
tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI).
Keenamnya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 ayat 1 dan Pasal
11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang larangan praktik monopoli dan
persaingan tidak sehat. Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009
disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pesaingnya
untuk menentukan harga produk pada pasar yang sama. Sedangkan Pasal 11
menyatakan pelaku usaha dilarang mengadakan perjanjian dengan pesaingnya untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran.
KPPU menyoroti praktik penetapan harga ban mobil ring 13, ring 14, ring 15,
ring 16, dan ring 17 pada 2009 hingga 2012. Menurut Kamser, ada temuan rapat
rutin anggota APBI yang mengindikasikan kesepakatan untuk menahan produksi dan
mengatur harga. Salah satunya rapat presidium tanggal 21 Januari 2009 yang
mengamanatkan anggota APBI untuk tidak membanting harga.
Jadi KPPU masih dalam proses penyelidikan tentang penentuan harga sepeda motor
untuk jenis bebek dan skutik serta kerjasama dalam penentuan volume penjualan
sepeda motor yang dilakukan oleh PT. Astra Honda Motor dan PT Yamaha Indonesia
Motor Manufacturing. Jika kedua produsen motor tersebut terbukti bersalah maka
keduanya akan dijatuhi pasal yang sama dengan keenam perusahaan produsen ban
yaitu dengan Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009
tentang larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat.
Harga Daging Meningkat
1. Kenapa Haraga Daging Meningkat ?
Menurut Ketua Asosiasi Pengimpor Daging Indonesia (Aspidi), Thomas
Sembiring mengatakan tingginya jual harga daging saat ini karena nilai rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat terus melemah. Secara otomatis harga jual daging
impor di Indonesia pun menjadi mahal karena kebutuhan daging dalam negeri tidak
mencukupi sehingga harus diimpor.
Contohnya importir membeli daging sapi dari Australia seharga 4 dolar AS
per kg atau setara Rp54.000 (kurs Rp13.500).Dari Rp54.000 per kg ditambah, ada
10 persen untuk pajak, lalu beamasuk, biaya pengapalan, angkutan ke gudang dan
biaya lainnya.
2. Benarkah ada kartel daging yang
bermain disini ?
Menurut informasi yang saya dapatkan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) menyelidiki sepertinya ada keterlibatan kartel dalam perdagangan daging
sapi yang menyebabkan penurunan pasokan dan kecenderungan kenaikan harga. Syarkawi
menduga kalau penurunan pasokan dan kenaikan harga daging sapi di beberapa
daerah terjadi karena ada permainan beberapa pihak yang ingin meraih keuntungan
pribadi dari kondisi tersebut. Syarkawi juga menduga telah terjadi
perilaku antipersaingan yang dilakukan pelaku usaha secara berkelompok dan
menjurus ke kartel. Untuk mengatasi masalah ini, KPPU menyatakan, bahwa
pemerintah harus konsisten menerapkan tataniaga secara utuh. Apabila sisi hulu
diintervensi dengan pembatasan pasokan, maka di sisi hilir pemerintah harus
melakukan intervensi antara lain melalui penetapan harga di tangan konsumen
serta kewajiban menjaga ketersediaan produk di pasar. Kenaikan harga daging
sapi sepertinya menjadi perhatian Wakil Ketua MPR RI Oesman Sapta Odang. Dia
mengatakan, bahwa kenaikan terjadi akibat ulah kartel lima perusahaan. Karena
itu dia meminta aparat penegak hukum segera mengamankan para perusahaan
berpraktik kartel ini.
Jumat, 06 Mei 2016
Kasus Perlindungan Konsumen
Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen RI menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diiskriminatif hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, dan sebagainya.
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen RI menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diiskriminatif hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, dan sebagainya.
Selain
Undang-Undang tersebut, ada banyak lagi dasar hukum yang dapat dijadikan
perlindungan oleh konsumen yaitu :
1. Undang
Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal
27 , dan Pasal 33.
2. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
3. Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
4. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
5. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
2. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
3. Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
4. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
5. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Kasus
tentang penyelewengan perlindungan konsumen terjadi pada seseorang. suatu hari
dia berniat untuk mengirimkan ijazah kepada kakak-nya. Kakak-nya meminta untuk
mengirimkan ijazahnya karena untuk keperluan pekerjaan, untuk itu orang
tersebut pergi ke JNE perusahaan yang memberikan jasa pengiriman barang. Sudah
seminggu berlalu semenjak orang tersebut mengirimkan ijazah-nya kepada sang
kakak tetapi masih belum tiba. Akhirnya sang kakak pun datang ke kantor JNE
yang ada di Tuban tetapi setelah sampai disana tidak mendapatkan respon yang
baik. Setelah 3 minggu menunggu orang tersebut atau sang adik pun mendapat telepon
dari pihak JNE dan diberitahu bahwa barang yang sang adik kirimkan dinyatakan
hilang sang adik pun mulai emosi, bagaimana tidak surat penting yang sudah
dikirim begitu lama namun baru dikonfirmasi setelah sekian lama. padahal sang
kakak sudah melaporkannya seminggu setelah pengiriman. Tidak lama setelah itu
rumah kakak beradik ini di datangi oleh pihak JNE karena sebelumnya sang kakak menulis keluhannya tersebut di KOMPAS. Pihak
JNE pun datang untuk menawarkan ganti rugi 10x lipat dari biaya pengiriman
yaitu sekitar Rp 120.000 namun Ayah dari si pengerim yang kebetulan berbicara dengan pihak dari JNE
tersebut tidak mau ganti rugi berupa uang. Ayah saya hanya ingin pihak JNE
mengurus surat-surat yang dibutuhkan agar sang kakak bisa membuat ijazah yang
baru. Namun pihak JNE hanya memberikan surat pernyataan kehilangan yang dibuat
oleh JNE dan mereka mengatakan akan membuat surat pernyataan hilang juga dari
polisi, namun sampai saat ini surat itu tidak kunjung datang dan sipengirim
tidak lagi dihubungi oleh pihak JNE.
ANALISIS :
Kejadian seperti ini tentunya dapat menggambarkan bahwa konsumen tidak lagi mendapatkan haknya untuk dapa memiliki rasa aman untuk menggunakan suatu jasa. Kejadian ini tentunya sangat merugikan konsumen dan perusahaan itu sendiri dimana perusahaan tersebut mungkin akan kehilangan kepercayaannya oleh konsumen sehingga berpengaruh pada bisnis yan dijalankannya.
Kejadian seperti ini tentunya dapat menggambarkan bahwa konsumen tidak lagi mendapatkan haknya untuk dapa memiliki rasa aman untuk menggunakan suatu jasa. Kejadian ini tentunya sangat merugikan konsumen dan perusahaan itu sendiri dimana perusahaan tersebut mungkin akan kehilangan kepercayaannya oleh konsumen sehingga berpengaruh pada bisnis yan dijalankannya.
Langganan:
Postingan (Atom)