Pengertian dan pemahaman Tanah
lot
Tanah lot adalah tanah yang berada di tengah laut/lebih tepat
tanah yang berada di pesisir pantai.
Sebutan ini memang sangat pas dengan pemandangan tanah lot. Asal-usul nama tanah lot konon diberi nama
oleh Dang Hyang Nirartha. Beliau dikenal sebagai penyebar agama hindu
di bali dengan nama Dharma Yatra. Di Lombok beliau dikenal dengan nama “Tuan
Semeru” atau guru dari Semeru (sebuah nama Gunung di Jawa Timur). Di atas karang itu ada sebuah Pura yang
menjadi tempat favorit untuk menikmati sunset bali yang indah.
Tanah Lot merupakan
obyek wisata yang sangat terkenal, Hampir setiap wisatawan yang liburan ke Bali
pasti menyempatkan diri menikmati obyek wisata ini. Tanah Lot terletak di desa Beraban, kecamatan
Kediri, kabupaten Tabanan, di barat daya pulau Bali, kira-kira 30 menit dari
Kuta. Di Tanah Lot terdapat dua pura,
Pura Tanah Lot yang terletak diatas sebuah batu karang besar yang berada di
tengah pantai. Di sebelahnya terdapat
satu pura lagi yang terletak diatas tebing yang menjorok ke laut (mirip pura
Uluwatu). Pura Tanah Lot termasuk pura
Sad Kahyangan yaitu pura-pura yang menjadi sendi untuk menjaga keasrian dan
keselamatan pulau Bali.
Menurut legenda, pura Tanah Lot dibangun oleh seorang Brahmana suci yang bernama Danghyang Nirartha atau disebut juga Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh atau Danghyang Dwijendra pada abad ke 16, beliau datang ke Bali untuk menyebarkan dan menguatkan ajaran agama Hindu. Danghyang Nirartha juga meninggalkan selendangnya yang menjadi sebuah ular penjaga pura Tanah Lot. Ular ini masih ada sampai sekarang dan dipercaya dapat memberikan keselamatan dan mengabulkan doa orang yang menyentuhnya. Selain pura Tanah Lot, ada beberapa pura Sad Kahyangan lain yang dibangun oleh Danghyang Nirartha selama pengembaraannya di Bali, misalnya Pura Petitenget, Pura Uluwatu dan lainnya.
Dipercaya Danghyang
Nirartha akhirnya “Moksa” (meninggal tanpa jasad).di pura uluwatu.
Selain terdapat ular yang hingga saat ini masih menjadi kepercayaan penduduk setempat, hal fenomenal lainnya adalah terdapat sumber air tawar di sisi utara Pura Tanah Lot padahal Pura ini terletak di atas pantai. Air suci ini disebut Tirta Pabersihan, banyak umat dan pengunjung yang menggunakan air ini untuk penyucian secara niskala.
Selain terdapat ular yang hingga saat ini masih menjadi kepercayaan penduduk setempat, hal fenomenal lainnya adalah terdapat sumber air tawar di sisi utara Pura Tanah Lot padahal Pura ini terletak di atas pantai. Air suci ini disebut Tirta Pabersihan, banyak umat dan pengunjung yang menggunakan air ini untuk penyucian secara niskala.
Seperti pura lainnya, pura Tanah Lot juga memiliki odalan (hari raya) yang dirayakan setiap 210 hari sekali, yaitu setiap “Buda Cemeng Langkir”, berdekatan dengan hari raya Galungan dan Kuningan. Pada saat odalan, seluruh umat Hindu dari segala penjuru Bali akan datang untuk bersembahyang, begitu juga wisatawan akan banyak yang datang untuk menyaksikan upacara dan keindahan Tanah Lot, akan tetapi wisatawan tidak diijinkan untuk memasuki bagian utama (“Utama Mandala”) pura Tanah Lot, kecuali yang masuk untuk bersembahyang. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga kesucian pura Tanah.
Tanah Lot ini terletak di Pantai
Selatan Pulau Bali yaitu di wilayah kecamatan Kediri, Kabupaten Daerah Tingkat
II Tabanan, yang pembangunannya erat kaitannya dengan perjalanan Danghyang
Nirartha di Pulau Bali. Di sini
Danghyang Nirartha pernah menginap satu malam dalam perjalanannya menuju daerah
Badung dan kemudian ditempat inilah oleh orang-orang yang pernah menghadap
kepada Danghyang Nirartha dibangun bangunan suci (Pura atau Kahyangan) sebagai
tempat memuliakan dan memuja Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa ) untuk
memohon kemakmuran dan kesejahteraan.
Pura atau Kahyangan ini diberi nama “Pura Pekendungan” yang sekarang
lebih dikenal dengan “ Pura Tanah Lot” sebagai salah satu penyungsungan
jagat.
Bagaimana ikwal perjalanan Danghyang Nirartha tatkala
berkeliling di Pulau Bali dan sampai ditempat ini, sebagaimana tertulis dalam
babad Dwijendra Tatwa yang secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut Pada
suatu waktu Danghyang Niratha datang kembali ke Pura Rambut Siwi di dalam
perjalanan beliau kelilling pulau Bali, dimana dahulu tatkala beliau baru tiba
di Bali dari Brambangan (Blambangan) pada sekitar tahun icaka 1411 atau tahun
1489 M beliau pernah singgah di tempat ini.
Setelah berada di Pura Rambut Siwi untuk beberapa lama,
kemudian beliau melanjutkan perjalanannya menunju arah Purwa (Timur) dan
sebelum berangkat paginya Danghyang Niratha melakukan sembahyang “Surya Cewana”
bersama orang-orang yang ada disana. Sesudah
menyiratkan (memercikkan) tirtha terhadap orang orang yang ikut melakukan
persembahyangan, lalu Danghyang Nirartha keluar dari Pura Rambut Siwi berjalan
menuju arah ke Timur. Perjalanan beliau
ini menyusuri pantai Selatan pulau Bali dengan diiring oleh beberapa orang yang
teraut cinta bhaktinya kepada Danghyang Nirartha. Dalam perjalannya ini Danghyang Nirartha
dapat menyaksikan bagaimana deburan ombak laut menerpa pantai menambah
keindahan alam yang sangat mengasyikkan.
Terbayang oleh beliau bagaimana kebesaran Sanghyang Widhi
Wasa (Tuhan Yang Maha Esa ) yang telah menciptakan alam semesta dengan segala
isinya yang dapat membrikan kehidupan bagi manusia. Karena asyik memperhatikan dan memandang
keindahan alam dengan segala isinya, sampai–sampai Dangyang Nirartha tidak
merasakan kelelahan didalam perjalanannya.
Sebagaimana biasanya di dalam perjalanan Danghyang
Nirartha senantiasa membawa lontar dan pengrupak (pisau raut untuk menulis pada
daun lontar ) sehingga apa-apa yang diangap penting baik yang dilihat maupun
yang dirasakan kemudian disusun dalam bentuk kekimpoi atau gubahan lainnya.
Demikian pula mengenai perjalanannya dari Pura Rambut Siwi ini, sehingga karena
asyiknya beliau memperhatikan serta memandang dan memikirkan segala sesuatu
yang dipandang penting dan akan diubah, tahu-tahu Danghyang Niratha sudah
sampai pada suatu tempat di pantai Selatan dipantai selatan pulau Bali. Di pantai ini terdapat sebuah pulau kecil
yang terdiri dari tanah parangan (tanah keras) dan disinilah Danghyang Nirartha
berhenti dan beristirahat. Tidak antara
lama Dangyang Nirartha beristirahat disana, maka berdatangan kesana para
nelayan untuk menghadap kepada Danghyang Nirartha sambil membawa berbagai
persembahan untuk diaturkan kepada beliau.
Kemudian setelah sore hari, para nelayan tersebut memohon kepada
Danghyang Nirartha agar beliau berkenan bermalam dipondok mereka masing-
masing, namun permohonannya ini semua ditolak oleh Danghyang Nirartha, karena
beliau lebih senang bermalam di pulau kecil itu. Disamping hawanya segar, juga pemandangannya
sangat indah dan dari sana beliau dapat melepaskan pandangan secara bebas
kesemua arah. Pada malam hari sebelum
Danghyang Nirartha beristirahat, beliau memberikan ajaran-ajaran seperti agama,
susila da ajaran kebajikan lainnya kepada orang-orang yang datang menghadap ke
sana. Tatkala itu Danghyang Nirartha
menasehatkan kepada orang-orang itu untuk membangun Parhyangan ( Pura atau
Kahyangan ) disana karena menurut getaran batin beliau yang suci serta petunjuk
gaib bahwa tempat itu baik untuk tempat memuja Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang
maha Esa ) .
Dari tempat ini kemudian rakyat dapat memuja kebesaran
sanghyang Widhi Wasa ( Tuhan Yang Maha Esa ) untuk memohon wara nugrahaNya
keselamatan dan kesejahteraan dunia.
Demikian antara lain nasehat Dang hyang Nirartha kepada orang-orang yang
mengahadap pada malam hari itu, yang akhirnya sesudah Danghyang Nirartha
meninggalkan tempat itu, kemudian oleh orang-orang tersebut dibangunlah sebuah
bangunan suci (Pura atau Kahyangan) yang diberi nama Pura Pakendungan yang kini
lebih dikenal dengan sebutan Pura Tanah Lot.
Kawasan Pura Tanah Lot adalah kawasan suci, di dalamnya terdapat
Pura Tanah Lot dan Pura Pakendungan yang merupakan Pura Dang Kahyangan. Tanah Lot sejak awal merupakan tempat
persembahyangan umat Hindu, kemudian berkembang menjadi sebuah tempat wisata
yang cukup digemari. Tumbuh pula
kegiatan komersial sebagai fasilitas penunjang pariwisata, seperti warung-warung,
art shop, restoran, kafe dan sebagainya. Dengan adanya interaksi tersebut,
masyarakat memiliki ketergantungan dan ikatan terhadap Tanah Lot. Untuk mengantisipasi permasalahan konflik
kepentingan dalam perkembangan kawasan, maka dilakukan perancangan kawasan
Tanah Lot dengan mempertimbangkan place attachment. Sense of place kawasan suci
sebagai tempat persembahyangan tetap dipertahankan, dan tetap dapat
mengakomodasi kegiatan wisata dan komersial.
Problem solving (pemecahan permasalahan) dengan pendekatan place
attachment, diawali dengan problem seeking (penelusuran permasalahan), melalul
proses analisa, sintesa dan evaluasi.
Faktor ikatan (place attachment) terhadap Tanah Lot dipelajari dari
respon secara emosional, kognitif dan tingkah laku, oleh masyarakat terhadap
potensi dan permasalahan Tanah Lot.
Perancangan kawasan Tanah Lot dengan dasar pertimbangan place attachment, dilandasi dengan konsep rancangan antara lain tata nilai, pencapaian, pemintakatan, sirkulasi pola dan orientasi massa bentuk, bahan dan penampilan massa ruang luar, dan penataan prasarana lingkungan. Tata nilai dalam perancangan kawasan Tanah Lot adalah penerapan konsep Tri Hita Karana, parahyangan sebagai inti kawasan yang terdiri dari gugusan Pura palemahan sebagai ruang transisi dan ruang interaksi dengan alam lingkungan yang terdiri dari fasilitas penunjang kawasan pawongan adalah desa sebagai ruang aktivitas keseharian dan bermukim bagi masyarakat. Kawasan suci ini di capai dengan jalan utama yang di sebut margi agung. Pemintakatan kawasan dibagi kedalam tiga zona yaitu zona inti yang mewadahi kegiatan persembahyangan, zona transisi yang membatasi zona inti dan zona penunjang, dan zona penunjang yang mewadahi fasilitas penunjang kawasan. Sirkulasi tinier terhadap sumbu imajiner dan organik terhadap kodisi fisik alami tapak. Pola dan orientasi masa linier terhadap sumbu imajiner kaja – kelod, dan natah (plaza) sebagai ruang pengikat antar massa.
Massa bangunan merupakan transformasi dari bangunan arsitektur tradisional bali, dengan bentuk sederhana, bahan dan tekstur alam, menggunakan ragam bias, ekspresi tri angga (tiga bagian dari badan; kepala, badan, dan kaki), skala manusiawai dan menyatu dengan alam. Ruang luar ditata dengan konsep taman dan hutan yadnya, selain memberi nilai estetika juga secara fungsi dapat menunjang kebutuhan persembahyangan. Prasarana lingkungan ditata agar dapat berfungsi optimal dan dapat menunjang terciptanya suasana religious.
Itulah sejarah singkat tentang Tanah Lot yang asa di
bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar